Minggu, 28 Juni 2015

Motivasi




























sesuatu dari kekalahan Pacquiao by bung Kafil Yamin


Pacquiao kalah. Suka tidak suka. Menang secara unanimous hasil penilaian juri-juri terbaik sulit dibantah. Penonton yang menjagokan Pacquiao cenderung melihat setiap pukulan dia masuk. Apalagi ditambah teriakan penonton setiap petinju Filipina itu melontarkan pukulan.

Juri profesional tidak terpengaruh oleh emosi dan ephoria penonton. Dan kalau kita menyisihkan emosi dukungan kepada salah satu petinju ketika pertandingan berlangsung, kita pun bisa melihat lebih jernih -- beda dengan penglihatan emosional penonton.

Manny memang banyak melontarkan pukulan, seperti biasa. Tapi kebanyakan pukulannya luput alias tidak mengena, karena kepiawaian Mayweather dalam bertahan. Mayweather, jarang menyerang, tapi nyaris setiap pukulannya mengenai sasaran dan karena itu dapat nilai.

Tak semua orang senang tinju. Tapi saya ingin mengambil pelajaran tentang satu hal saja dari pertandingan Pacquiao-Mayweather ini, yang bisa dimanfaatkan untuk hal lain di luar tinju. Satu pelajaran itu adalah: overconfidence, atau kepercayaan diri yang berlebih.

Manny terlalu yakin dirinya lebih unggul dan bisa mengatasi Floyd. Pendapat para pengamat yang mengunggulkannya menciptakan keyakinan demikian. Itu terungkap dalam setiap wawancara menjelang pertandingan -- meski ia dikenal sebagai petinju yang rendah hati.

Tapi jangan salah, orang rendah hati pun bisa sangat percayaa diri (Overconvident). Manny terbawa mood publik.

Orang yang terlalu percaya diri memang merasa nyaman. Merasa bisa mengatasi apa yang dihadapi dengan enteng. Orang yang terlalu percaya diri mengingkari kemungkinan bahwa ada kelemahan dalam dirinya, bahwa dia bisa salah atau keliru. Dan ketika orang ini mengalami kenyataan yang berbeda dengan keyakinannya, ia cenderung tak menerimanya. Manny menyatakan ia merasa ia lah pemenangnya. Demikian pula para pendukungnya.

Abaikan Manny Pacquiao. Dan amati kehidupan sehari-hari di sekeliling kita, apakah kita pernah atau sering menjumpai orang yang terlalu percaya diri? Atau mungkin sesekali anda juga bersikap demikian? Atau sering? Atau selalu?

Jangan sering-sering lah. Sebab orang yang terlalu percaya diri itu kalau kena batunya, mentalnya juga jatuh drastis.

Sisakan keraguan pada kepercayaan anda terhadap apa pun, termasuk diri anda. Kalau porsinya wajar, keraguan itu baik – berfungsi untuk membangun kewaspadaan dan keseimbangan. Bila seorang pelajar merasa yakin penuh sudah menguasai pelajaran, dan karena itu akan bisa menjawab soal-soal ujian, ia cenderung ceroboh ketika mengisi jawaban. Bisa saja ia lulus. Tapi bila tidak, atau nilainya jauh dari yang dia yakini, kercayaan dirinya akan ambruk.

Sediakan ruang dalam pikiran untuk keraguan. Ia berfungsi mengontrol sikap; menjaga pikiran tetap awas. Dan yang lebih penting: Menilai sesuatu – termasuk diri sendiri -- secara wajar. Tidak melebihkan.

Yang harus dicegah adalah bila keraguan lebih mendominasi hidup kita. Ini malah mengurang-kurangkan. Kita akan serba ragu; serba takut, serba khawatir; sehingga tak berani bertindak dan memutuskan. Bila keraguan mendominasi diri kita, itu alamat tidak sehat. Perlu perawatan kejiwaan.

Percaya kepada ‘diri orang lain’ lebih dari takaran wajar sama negatifnya. Sama persis dengan ketidakpercayaan. Kebanyakan kita – secara alamiah – cenderung percaya kepada orang yang kita suka. Ketika orang yang kita suka itu ternyata mengecewakan, anda mungkin masih berusaha mengabaikannya demi rasa suka anda. Tapi bila begitu terus, anda sedang menganiaya diri sendiri.

Orang yang kita tidak suka, biasanya adalah objek ketidakpercayaan kita. Ketika orang ini berbuat baik dan benar, kita masih sulit percaya. Bagusnya, kita mempercayai sesuatu atau seseorang karena sesuatu dan seseorang itu menunjukkan hal-hal yang menimbulkan kepercayaan kita. Bila seseorang mengatakan sesuatu, dan ternyata yang dikatakannya itu benar, kita mulai percaya dia. Bila dia berkata benar lagi dan lagi, kepercayaan kita kepadannya semakin menguat, dan kita menyukainya. Sebaliknya, bila seseorang berkali-kali membohongi dan mengkhianati anda, adalah sehat bila anda tidak mempercayai dan menyukainya.

Jangan dibalik. Kita tidak suka dulu kepadanya, lantas apapun yang dilakukan dan dikatakannya gak bener. Atau kita suka duluan kepada seseorang, terus apa pun yang dia katakan dan lakukan bener. Ini alamat tidak sehat juga.

Sisakan keraguan untuk segala yang anda percaya.  Percaya bahwa kekasihmu setia kepadamu? Bagus. Tapi tak usah 100persen. Sisakan 10 atau 20persen untuk kemungkinan bahwa karena satu dan lain hal dia bisa mengakhiri kesetiaannya kepadamu. Bahkan sisakan juga keraguan itu untuk kesetiaanmu kepadanya. Kalau suatu saat kekasihmu berkhianat, kamu akan siap. Tak akan merengek-rengek kayak di sinetron.

Boleh saja seorang pecinta merayu kekasihnya, dengan mengutip Hamlet-nya William Shakespeare:
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api
Ragukan bahwa matahari itu bergerak
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta
Tapi jangan ragukan cintaku.

Lalu kamu jawab: "Tidak Kanda, kamu cuma kena potongan keraguan 10persen."

Dan percayailah dia apa adanya. Bila perlu, kutip lagu lawas Billy Joel: "I Love you just the way you are."

Keraguan dalam takaran wajar adalah sehat. Ia adalah ruang rasio, ruang logika, agar kita tak sepenuhnya hanyut dalam arus emosi atau keyakinan bikinan ego. Makanya, dalam ilmu pengetahuan, keraguan itu malah penting.

Apakah dengan menyisakan keraguan itu saya harus meragukan kesetiaan suami atau istri saya? Tentu tidak kalau tanpa alasan. Keraguan yang dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa kesetiaannya bisa saja berubah bila anda berbuat sesuatu yang merusak kesetiaannya, atau karena hal lain.

Dalam banyak pelatihan motivasi, sering si pelatih menanamkan sugesti kepada para peserta: “Aku bisa! Aku bisa!” untuk membangun semangat kerja para karyawan. Atau mengkamuflase waktu, dengan mengucapakan ‘selamat pagi’ pada waktu pelatihan di sore hari, dengan alasan: “Kita selalu semangat, selalu bugar seperti di pagi hari.” Padahal, setiap tubuh manusia dilangkapi dengan bio-ritme, irama hidup. Tubuh bugar di pagi hari, melemah di sore hari, dan lunglai di malam hari. Bisa saja orang memaksakan diri untuk bugar sepanjang hari, setiap hari, tapi dalam waktu tak lama ia akan masuk rumah sakit.

Itu membohongi diri. Jangan termakan oleh pelatihan motivasi yang banyak memanipulasi kesadaran.

Hanya kepada satu hal keyakinanmu harus penuh, tanpa sebutir zarrah keraguan, yakni kepada Tuhanmu; kepada kasih sayangnya yang tak terbatas, karena memang tak ada alasan untuk meragukan-Nya.